
SUMBAWA, ERANTB.COM — Meski belum diresmikan pembangunannya oleh Pemerintah, kini Puskesmas Lunyuk mendapat kecaman dari sebagian warga yang kecewa.
Kecaman atas dendam pembangunan yang tidak di dahului atas musyawarah mufakat kini bak api dalam sekam.
Penduduk Lunyuk Rea yang menyebut diri sebagai “pasak desa” atau orang asli yang lahir dan menetap geram atas kebijakan pembangunan. Mereka menagih keadilan kepada aparat Pemerintahan juga Bupati Sumbawa.
Kecaman mereka sampai ke ruang bupati Sumbawa prihal proses pembangunan dari penentuan lokasi, tender hingga dalang perubahan lokasi Puskesmas.
Masalah itu kemudian membuat saya tergelitik untuk menulis, karena saya meyakini bahwa kita perlu pencerahan atas segala yang ada, bukan berarti akan terus saling menyalahkan.
Ada hal besar yang harus kita jaga lebih dari sekadar istilah “pasak desa” yaitu kesatuan sebagai warga negara yang hidup dari bumi dan air yang sama.
Saya kemudian teringat akan diskusi masa lalu tentang sejarah pembangunan Puskesmas Lunyuk yang berlokasi di dusun lenang belo, Desa Lunyuk rea.
Saat itu saya intens berdiskusi dengan Imam Masjid Besar Lunyuk H A Rahman Razak. Beliau yang selalu bercerita kepada saya tentang sejarah, latar belakang keturunan keluarga hingga kepiawaian beliau ketika menjadi anggota DPRD Sumbawa.
Beliau orangnya agamis, tegas dan fisiknya sehat meski sudah berusia lanjut. Saya dulu sering adzan di masjid sembari menunggu beliau masuk dan menjadi Imam.
Setelah ibadah sholat usai, kami selalu duduk di luar emperan masjid dan berdiskusi bersama jamaah lain. Saya senang mendengar cerita sejarah dari mereka.
Hal yang masih terkenang dikala berdiskusi dengan beliau yaitu sejarah pembangunan puskesmas Lunyuk dan bagaimana orang lunyuk (red – Drs Saruji Masnira, M.Si) yang menjadi calon bupati Sumbawa pada masa sebelum demokrasi.
Lunyuk saat itu memang letaknya di Lunyuk Rea, karena komunitas awal berada di situ namun seiring perkembangan, wilayah lunyuk kemudian berkembang dari 3 desa menjadi 7 desa hingga saat ini dengan total penduduk kurang lebih 14 ribu jiwa.
Kedatangan transmigran dari Sasak dan Bali kemudian menambah entitas dan etnisitas di Lunyuk. Keragaman inilah yang hingga sekarang masih kuat dalam realitas sosial kemasyarakatan.
Meski mereka bukan “Tau” akan tetapi mereka tetap menjadi “tana” samawa. Istilah Tau dan Tana Samawa kemudian tidak boleh kita pisahkan, ini kaidah yang harus dipegang oleh semuanya.
Pada saat beliau di DPRD, ada usulan penentuan lokasi pembangunan Puskesmas untuk wilayah selatan, salah satunya di Lunyuk. Ketegangan saat itu memang ada, namun karena beliau “Tau Lunyuk Asli” di DPRD maka secara otomatis usulan lokasi wilayah kemudian ditentukan di Desa Lunyuk Rea, persis di dusun Lenang Belo.
Kekuatan beliau di DPRD memang tidak terbendung untuk melakukan lobi akan lokasi pembangunan. Lunyuk Rea bergeming dan sekitarnya menerima tanpa ada halangan dan rintangan.
Lokasi tanah memang luas dan memanjang, ada beberapa rumah dinas dibangun disebelahnya dan beberapa sisa-sisa pembangunan puskesmas yang konon sekarang akan menjadi “rumah hantu”.
Namun keputusan itu tetap akan menjadi dendam masa lalu yang nantinya akan terbalas.
Dan benar, tahun 2020 adalah kenyataan yang harus diterima. Puskesmas berpindah lokasi dari Desa Lunyuk Rea ke Desa Padasuka. Lokasinya memang lebih luas namun sangat merugikan orang Lunyuk Rea secara letak wilayah.
Spekulasi kemudian berkembang prihal dalang dibalik penunjukan tempat. Ada beberapa kalangan yang mengaitkan dengan keterlibatan oknum anggota DPRD asal Desa Padasuka, Ustdaz Mustajabuddin.
Saya tertawa membaca rumor ini. Kalau dikaitkan dengan beliau, saya sangat tidak setuju, karena orang legislatif di Lunyuk adalah representasi dari 3 etnis yaitu Samawa, Sasak dan Bali.
Jika secara gamblang, beban diarahkan ke beliau lalu bagaimana dengan anggota legislatif asal suku samawa dan bali?
Ustadz Mustajabuddin bagi saya adalah orang yang sangat ramah, bersahaja dan sering turun ke wilayah untuk melihat masyarakat secara langsung.
Saya pernah bertemu beliau beberapa kali, terakhir saat memberikan ceramah pada malah takziyah ayah saya. Kesan masyarakat pada beliau sebagai orang yang tidak terbiasa memakai mobil untuk keperluan yang tidak terlalu mendesak, biasanya pakai motor menelusuri wilayah dapilnya.
Ada juga yang mengaitkan dengan rendahnya koordinasi dan komunikasi lintas sektor prihal pembangunan. Ini patut dilakukan, bukankah segala aspirasi kemudian disalurkan dalam musyarawah rencana pembangunan di tingkat desa dan kecamatan? Ini patut juga diperhatikan.
Alhasil, Camat Lunyuk kemudian membawa bola panas aspirasi kepada pemangku kepentingan yaitu Bupati Sumbawa.
Masalah memang tidak akan selesai jika hanya dialog antara penentang dan aparat pemerintahan setempat.
Entah bagaimana Bupati Sumbawa menyelesaikan masalah ini, apakah menerima aspirasi dari penuntut atau sebaliknya membiarkan masalah ini berlarut hingga Pilkada usai.
Kalau seandainya Puskesmas dipindahkan, itu hal mustahil karena gedung sudah hampir rampung, namun jika ada win win solution yang lain maka bisa jadi rumah dinas dokter yang ada di wilayah lunyuk ode tidak dipindahkan melainkan dibuat untuk melayani masyarakat yang melakukan rawat jalan.
Tapi dokter asal etnis bali, lebih dekat dengan etnis sasak disitu. Apalagi wilayah kerja Puskesmas yang terletak di wilayah pertengahan antara etnis sasak dan bali.
Tapi yang jelas, masalah ini akan tetap menjadi api dalam sekam jika hanya dibiarkan begitu saja.
Jika boleh saya sarankan, orang-orang kaya di Lunyuk Rea dan Lunyuk Ode bisa membuat klinik kesehatan yang melayani masyarakat Desa. Lulusan tenaga medis dan kesehatan juga banyak dari kedua wilayah ini. Mereka kita berdayakan demi peningkatan derajat kesehatan masayarakat.
Kita sudahi streotif yang berkembang dan memojokkan etnisitas lain demi kepentingan yang sebetulnya kita tidak tahu pangkalnya.
Sekali lagi, filosofi “tau dan tana samawa” harus kita jaga eksistensinya. Tidak boleh dimaknai secara terpisah namun harus dikaitkan demi menjaga persatuan dan kesatuan lintar etnis dan budaya.
Jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga.