ERANTB.COM— Entah dengan bahasa apa saya utarakan duka yang teramat pada orang-orang Rohingya. Nasib mereka terombang-ambing, sebagaimana ombak mempermainkan perahu kelebihan muatan mereka di lautan tanpa tepi. Ada luka yang turut menggoresi hati, tetapi rupanya air mata saja tak cukup ampuh menambal perihnya.
Foto ini bagai menutur seluruh kepedihan mereka, menghantam hati siapa saja yang menyaksikan. Erat sekali pelukan lelaki Rohingya itu, pada manusia daratan yang pertama kali ia temui. Hei, berbulan-bulan lamanya yang mereka saksikan hanya air! Lupakan soal sandang. Bahkan, pangan saja tak pernah memadai untuk menyangga tubuh mereka dari serangan lapar.
Kawan, kau paham rasanya, kan, kedinginan saat musim penghujan? Sebentar-sebentar lapar. Kata orangtuaku, dingin menyebabkan orang mudah keroncongan. Maka, bagi sebagian orang, hujan itu adalah memori tentang semangkuk mie rebus panas. Ah, bayangkan bagaimana bekunya hawa di buritan menggedor-gedor perut para manusia perahu, muslim Rohingya. “Kami bertahan hidup dengan minum air laut,” lirih salah seorang dari mereka.
Bukan hanya perkara perut yang seringkali mengkhawatirkan, tetapi juga soal kemana nasib mereka akan berlabuh. Mereka diburu oleh saudara sebangsanya sendiri, dibersihkan hingga generasi terakhir. Melarikan diri adalah pilihan tunggal, meski kemudian negara-negara terdekat menolak mereka menepi di pantainya. Belum lagi, mereka harus tega mendapati mayat-mayat sepenumpangan, entah sanak keluarga atau tetangganya dilarung ke laut setiap malam.
Air mata lelaki Rohingya itu rebas di bahu manusia pertama yang mengulurkan tangan padanya. Kesedihannya tumpah bersama haru. Lega, karena takdir masih berbaik hati. Di sinilah mereka akhirnya diterima. Di tempat yang nun di penghujung Indonesia. Bukan oleh pejabat dan elit, bahkan kabarnya mereka sempat diusir aparat setempat agar menjauhi batas perairan.
Para nelayan kecil lah yang mengambil peran, menyalakan lentera nurani yang hampir mati terpenjara batas negara. Mereka menghidupkan kapal-kapal pencari ikan, bergegas memboyong para manusia perahu untuk membangun harapan baru di tanah daratan. Aksi para nelayan Aceh ini dengan indah diabadikan oleh media internasional. Memuji kedermawanan nelayan Indonesia di headline beritanya. Satu kerja kemanusiaan telah ditunaikan.
(Oleh : Henny Nov)