Oleh : Alan Malingi
ERANTB.COM– Ada ungkapan yang senantiasa melekat dalam pandangan masyarakat Bima sejak dulu yaitu “Ka ‘ulu nemba guru ampo nemba Ruma ” artinya Dahulukan menyembah guru baru menyembah tuhan.
Ungkapan ini memang menimbulkan kontroversi dimana menyembah guru lebih didahulukan daripada menyembah tuhan sang pencipta. Tetapi jika ditelusuri lebih dalam, ungkapan itu menunjukkan betapa pentingnya berguru atau guru untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu tentang Tuhan itu sendiri.
Alasannya adalah kita mendapatkan ilmu agama dan berbagai imu justru bermula dari guru. Hal itu menunjukkan bahwa guru mendapat tempat terhormat dalam masyarakat Bima.
Dalam catatan sejarah Bima, Raja Indera Zamrut mengangkat Ompu Aha sebagai Dari Genda atau orang yang mengurus perlengkapan kesenian kerajaan. “Dari ” adalah jabatan fungsional yang di dalamnya adalah orang orang dengan keahlian tertentu seperti Dari Ndede( pandai besi), Dari Cendawa( ahli peramu obat), dan ratusan Dari lainnya dalam struktur pemerintahan sejak era kerajaan hingga kesultanan Bima.
Sultan Abdul Kahir 1 Rumata Ma Bata Wadu memuliakan para datu dan mubaliq dengan mengangkat Sumpah “Oi Ule ” yang pada intinya bahwa seluruh anak keturunan dan rakyat Bima harus memuliakan dan menghormati guru.Kelahiran Upacara Adat Hanta UA PUA juga dilatar belakangi oleh rasa hormat terhadap para guru yang menyiarkan agama islam di Bima. Karena tujuan utama Hanta UA PUA yang yang dicetus oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin adalah untuk memuliakan para guru dan ulama disamping memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Begitu mulia seorang guru, Sultan Nuruddin(Sultan Bima ke 3 1682-1687) berwasiat agar dirinya dimakamkan disamping makam gurunya Syekh Umar Al Bantami(Sehe Banta) di kompleks pemakaman Tolobali Kota Bima. Tidak hanya itu, para guru mendapat fasilitas dan diberikan tanah di Kampung Melayu sebagai penghormatan dan penghargaan kepada guru.
Dalam perjalanan sejarah, Bima tidak mengenal pendidikan formal. Istilah guru memiliki cakupan yang sangat luas. Guru berperan dalam segala aspek kehidupan sehingga dikenal istilah guru ngaji, guru lebe, guru doa, guru gantao, guru imam dan lain lain. Sistim pendidikan di Bima sebelum tahun1900 adalah pendidikan informal dengan pola ” Nge e Nuru ” yaitu belajar, tinggal dan mengabdi di rumah guru. Para murid belajar dan mengerjakan pekerjaan sang guru seperti menyapu halaman rumah, mengisi air di padasan dan bahkan menggarap sawah dan ladang milik guru. Di era 1920, mulai diperkenalkan sistim sekolah oleh Sultan Muhammad Salahuddin. Berdirilah sekolah sekolah agama dan sekolah umum. Para guru digaji dan mendapatkan tanah jaminan. Namun sekolah ” Nge e Nuru masih tetap bertahan berpadu dengan pendidikan formal.
Guru bagi masyarakat Bima bukan saja guru yang mengajar di kelas dan sekolah, tetapi siapapun yang memberikan ilmu yang bermanfaat, itulah guru. Guru dalam perspektif masyarakat Bima adalah siapapun yang berbagi dan mengajarkan ilmunya sebgaimana amanat syair di bawah ini :
Kone ma loa ilmu samena na
Watisi kalampa kaimu
Samampa labo haju ma da ntau ro’o
Artinya
Meskipun engkau memiliki beragam ilmu
Jika tidak dijalankan dan berbagi
Ibarat Pohon Tak Berdaun.
Begitu pentingnya kehadiran guru di tengah masyarakat. Betapa tinggi dan mulianya seorang guru dalam masyarakat Bima. namun saat ini persepsi tentang guru sudah mulai berubah. Banyak guru yang dianiaya dan dibunuh oleh muridnya sendiri. Hal ini tentu harus menjadi perhatian semua pihak agar hari ini dan kedepan tidak terjadi lagi. Guru dengan murid ibarat ayah dengan anak. Guru, murid, dengan orang tua murid adalah satu kesatuan dalam lingkungan pendidikan.
Guru adalah pelita di tengah kegelapan. Jasanya tiada tara. Setetes ilmu yang diberikannya akan Terus mengalir dalam kepribadian kita.