Oleh Wirawan Ahmad, S.Si., M.Si.
(Staf Ahli Bidang Ekonomi, Keuangan, Infrastruktur dan Pembangunan Provinsi NTB)
ERANTB.COM – OPINI – Dalam kebijakan publik, memilih bertindak atau tidak bertindak sama sama memiliki resiko. Memang resiko adalah sebuah keniscayaan, sehingga kebijakan publik yang efektif akan selalu disertai dengan adanya manajemen resiko.
Hal serupa tentu saja berlaku pada kebijakan pinjaman (PEN) Daerah. Menjadi penting untuk dijelaskan kepada publik apa mitigasi resiko yang disiapkan agar pinjaman PEN Daerah tidak menjadi beban berat bagi kondisi keuangan Pemerintah Provinsi NTB.
Sebelumnya, mari kita samakan pandangan tentang apa itu pinjaman PEN Daerah. Merujuk pada PMK 105/PMK.07/2020 disebutkan bahwa Pinjaman PEN Daerah adalah dukungan pembiayaan yang diberikan pemerintah kepada pemerintah daerah guna mempercepat pemulihan ekonomi daerah sebagai bagian dari pemulihan ekonomi nasional.
Ada dua hal yang tersurat jelas dalam pengertian tersebut. Pertama, pinjaman PEN Daerah adalah dukungan pembiayaan dari pusat kepada daerah. Yang kedua pinjaman itu digunakan untuk pemulihan ekonomi daerah.
Tentu banyak yang bertanya, mengapa pembiayaan dalam bentuk pinjaman bisa dikatakan sebagai dukungan, insentif atau stimulus dari pusat kepada daerah. Jawabannya jelas, karena pinjaman ini adalah pinjaman yang tak lazim karena desain awalnya tidak berbunga, namun ada perubahan kebijakan, sehingga pinjaman PEN daerah ini oleh pusat dikenakan bunga rendah yang disertai dengan subsidi bunga.
Dukungan pembiayaan dalam bentuk Pinjaman PEN Daerah tujuannya jelas yaitu untuk mempercepat pemulihan ekonomi daerah sebagai bagian dari pemulihan ekonomi nasional. Itulah sebabnya dalam klausul mengingat, PMK 105/PMK.07/2020 tidak mencantumkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah, tapi rujukannya kepada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Perekonomian Nasional. Dalam konteks ini, jelas bahwa pinjaman PEN Daerah rezimnya adalah rezim pemulihan ekonomi daerah akibat pandemi covid-19 bukan rezim pinjaman daerah yang mengikuti syarat dan ketentuan pinjaman daerah yang diatur dalam PP 56 Tahun 2020.
Persyaratan yang diatur dalam PMK 105/PMK.07/2020 itu jauh lebih longgar, misalnya terkait dengan tidak dibutuhkannya persetujuan DPRD dan juga terkait jangka waktu pinjaman.
Dukungan pembiayaan dalam bentuk Pinjaman PEN Daerah disambut antusias oleh provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Namun tidak semua daerah bisa mendapatkan alokasi pinjaman tersebut, karena sangat tergantung dari kelayakan usulan program yang diajukan apakah memenuhi kriteria sebagai program yang bisa berkontribusi dalam percepatan pemulihan ekonomi lokal.
Pemerintah provinsi NTB sendiri sudah mendapatkan kepastian dukungan pembiayaan sebesar Rp. 750 Milyar seiring dengan ditandatanganinya MOU Pinjaman PEN Dasrah antara Pemprov NTB yang ditandatangani langsung oleh Gubernur NTB Dr.H. Zulkieflimansyah dan Direktur Utama PT. SMI. Dukungan pembiayaan tersebut diperuntukkan untuk kelanjutan pembangunan jalan provinsi sesuai amanat Perda Jalan sebesar Rp. 250 Milyar dan Pengembaban RSUD Provinsi sebesar RP. 500 Milyar. Dana sebesar Rp. 500 milyar tersebut akan digunakan untuk lanjutan pembangunan trauma center sebesar Rp. 83 Milyar dan Pembangunan IGD Terpadu & Gedung Perawatan sebesar RP. 417 Milyar.
Diterimanya usulan Pinjaman PEN Daerah oleh pusat yang disalurkan melalui PT. SMI, tentu tidak terlepas dari urgensi dan kelayakan program yang diusulkan sesuai dengan kriteria pusat. Pembangunan jalan provinsi misalnya dihajatkan untuk peningkatan kemantapan jalan provinsi sebesar 86,60 persen dengan membangun jalan yang menghubungkan ke sentra produksi pertanian, sentra industri pertambangan, dan destinasi wisata serta ke daerah yang masih terisolir. Pembangunan RSUD diharapkan bisa mengatasi overload pelayanan IGD, stagnasi pasien IGD, Bed Occupancy Rate (BOR) yang belum memenuhi standar, peningkatan layanan penunjang IGD seperti laboratorium, radiologi dan farmasi serta mengantisipasi tindakan bedah sentral yang terus meningkat (sumber : RSUD Provinsi NTB). Yang paling penting, NTB sebagai daerah tujuan wisata super prioritas harus melengkapi diri dengan fasilitas berstandar internasional.