Penulis: Rusdianto Samawa
Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI) dan Chairman of the Indonesian Fisherman Congres, Juni 2021
ERANTB. COM — Problematika politik agraria di wilayah Pulau Sumbawa, menjadi atensi rakyat. Terutama wilayah pesisir yang menjadi lahan pertambakan. Sangat banyak contoh kasus penguasaan tanah oleh berbagai investor dengan perusahaan yang sistemnya sangat bandel. Sejarah penguasaan lahan oleh korporate, seperti wilayah Labuhan Bontong dan Gapit yang dikuasai oleh PT Alam Hijau melalui sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atas hamparan lahan tambak di Desa Labuhan Bontong Kecamatan Tarano dan Desa Gapit Kecamatan Empang seluas 650 hektar lebih sejak tahun 1986.
Menelisik contoh kasus diatas, bahwa masyarakat sangat dirugikan. Hingga hari ini pun, tanah tambak tersebut belum bisa dikembalikan dan masih dalam sengketa. Mengapa begitu? sederhana sebenarnya di pahami, bahwa perusahaan tidak memiliki tanah sedikit pun. Namun, atas motif penyewaan lahan, kemudian digadai ke Bank untuk permodalan pengelolaan tambak modern (shrimp Estate). Sementara syarat peminjaman adalah harus status Hak Guna Usaha (HGU). Kemudian, metode seperti ini cikal bakal konflik lahan. Karena perusahaan tidak mau mengembalikan lahan tersebut, apabila setelah putus kontrak dalam jangka waktu puluhan tahun.
Meski masa berlakunya HGU sudah habis, tetapi status lahan tersebut tetap terkatung-katung alias tidak jelas. Seperti diketahui dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960 pasal 29 ayat (1) menyebutkan bahwa HGU diberikan dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Sementara HGU PT Alam Raya atas lahan tersebut sudah melebihi 25 tahun. Mestinya HGU PT Alam Hijau atas lahan tersebut habis masanya pada tahun 2012 yang lalu. Tetapi justru disengketakan karena klaim sebagai hal milik perusahaan.
Begitu pun, lahan milik warga Labangka yang saat ini, masuk investasi perusahaan (korporate) yang merupakan rangkaian Food Estate. Tentu harus ditinjau ulang dan lakukan eksaminasi terhadap proses mendapatkan lahan. Selama rentang waktu 25 tahun lalu, status HGU bagi tanah-tanah pesisir yang digadai sebelumnya oleh kepemilikan pribadi. Kini tidak bisa kembali kepada pemiliknya. Karena sistem HGU upaya mendapatkan legalitas tanah bagi perusahaan investasi pertambakan.
Sehingga lahan tersebut, hingga sekarang tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya sesuai perjanjian sebelumnya saat HGU diterbitkan atau dengan kata lain dibiarkan mangkrak. Kasus ini terjadi pada perusahaan PT Alam Raya yang mendapatkan lahan daerah Gapit dan Labuham Bontong.
Berdasarkan UUPA dan Peraturan Pemerintah (PP) No 40 tahun 1996, hak pengelolaan atas lahan itu seharusnya secara otomatis kembali pada negara, untuk selanjutnya digunakan demi keperluan yang lebih bermanfaat, termasuk memberikan hak pengelolaan pada masyarakat sekitar.
Kondisi ini mengakibatkan munculnya berbagai persoalan, diantaranya Pemerintah Desa (Pemdes) dan Pemerintah Kecamatan setempat tidak dapat memfasiltasi masyarakat dalam hal kepemilikan, sewa-menyewa dan jual beli lahan sehingga berdampak pada konflik sosial akibat kepemilikan lahan ganda dan proses jual beli yang berulang-ulang. Sulitnya lahan tersebut dikembangkan melalui program pemerintah seperti sertifikat tanah nelayan, pembangunan infrastruktur dan intensifikasi lahan tambak, pengembangan usaha garam dan sebagainya.
Jika selama ini secara de facto telah turun temurun memiliki, mengelola dan memanfaatkan lahan pertambakan tersebut melalui penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dan atau Sertifikat Hak Milik (SHM) sehingga masyarakat dapat memiliki bukti secara yuridis atas klaim kepemilikan lahan yang mereka lakukan.
Percepatan pemutihan status lahan untuk selanjutnya diserahkan pada masyarakat melalui penerbitan SPPT atau SHM akan memberikan dampak positif setidaknya bagi masyarakat, pemerintah maupun investor. Prioritas pengembangan perekonomian masyarakat yang bertumpu pada pemberdayaan potensi lokal dengan integrasikan sektor-sektor pertanian, perikanan kelautan, pariwisatan dan sumber daya alam lainnya.
Mendorong pemerintah untuk mempertegas status 650 hektar lahan tersebut. “Sebagai bagian dari pemerintah, kita harus malu pada masyarakat. Jangan sampai rakyat justru lebih sigap dari pemerintah dalam menangani masalah ini. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pemetaan terhadap lahan yang masuk dalam HGU
Masih menghadapi sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan (KP). Antara lain, tingkat (intensitas) pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap dan lahan perikanan budidaya masih sangat rendah; sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan perikanan bersifat tradisional (rendah muatan teknologi dan manajemen).
Selain itu, mayoritas nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pengelolah hasil perikanan, dan pedagang perikanan masih miskin (pendapatan kurang dari 300 dolar AS/orang/bulan). Hal itu disebabkan unit usaha (bisnis) nya tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale). Selain itu, pelabuhan perikanan (tempat pendaratan ikan) kurang higienis dan tidak dilengkapi dengan industri hulu dan hilir, serta sarana armada angkutan cold chain system..
Untuk membangun peta jalan pembangunan budidaya modern yang maju, sejahtera dan mandiri, Maka harus mencakup pembangunan rencana tata ruang wilayah (RTRW), ekonomi, infrastruktur dan konektivitas, pengelolaan lingkungan, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM; dan perbaikan tata kelola pemerintahan.