Oleh Wirawan Ahmad, S.Si., M.Si
(Staff Ahli Bidang Ekonomu, Keuangan, Infrastruktur, dan Pembangunan Provinsi NTB)
ERANTB.COM — OPINI – Dalam struktur APBD, pinjaman PEN Daerah masuk dalam komponen penerimaan pembiayaan. Secara konseptual pembiayaan penerimaan adalah penerimaan yang masuk dalam rekening kas umum daerah yang perlu dibayar kembali.
Dua tahun sebelumnya, keberanian daerah untuk memanfaatkan instrumen pembiayaan (creative financing) dijadikan salah satu tolok ukur oleh Kementerian Keuangan dalam menilai kualitas APBD untuk menentukan daerah yang mendapatkan reward berupa Dana Insentif Daerah.
Lantas, bagaimana posisi pinjaman PEN daerah dalam rangka mewujudkan APBD berkualitas?
Ada tiga alasan yang memperkuat tesis bahwa pinjaman PEN daerah sangat berkontribusi dalam mewujudkan APBD berkualitas.
Pertama dari aspek peruntukannya. Alokasi pinjaman PEN Daerah untuk pembangunan jalan dan Pengembangan RSUD menjadi jawaban terhadap kebijakan mandatory spending pada tiga bidang sekaligus. Pertama, pinjaman PEN Daerah ini berkontribusi dalam capaian pelaksanaan mandatory spending berupa pengalokasian minimal 25 persen Dana Transfer Umum untuk pembangunan infrastruktur. Kedua, berkontribusi dalam pencapaian mandatory spending berupa alokasi minimal 10 persen di luar gaji untuk bidang kesehatan. Ketiga, pinjaman daerah ini dihitung sebagai bagianh dari anggaran APBD untuk penanganan covid-19 pada aspek belanja pemulihan ekonomi daerah.
Kedua dari aspek pendapatan. Pinjaman PEN Daerah ini akanh meningkatkan kemandirian daerah yang ditandai dengan peningkatan rasio PDRD sebagai salah satu indikator APBD berkualitas.
Ketiga, Pinjaman PEN Daerah ini akan meningkatkan rasio belanja modal yang juga menjadi ukuran keberpihakan APBD kepada rakyat.
Mitigasi Resiko
Apa resiko yang paling ditakutkan dari penerima dan pemberi pinjaman termasuk pinjaman PEN Daerah? Jawabannya adalah resiko gagal bayar atau dalam istilah ekonominya disebut default atau wan prestasi.
Apakah resiko itu bisa terjadi pada kasus pinjaman PEN Daerah oleh Pemprov NTB? Jawabannya tidak. Karena mekanisme pembayarannya dilakukan dengan pemotongan DAU oleh pemerintah sesuai dengan besarnya kewajiban cicilan pembayaran hutang setiap tahunnya.
Lantas apa bentuk resikonya? Berkurangnya DAU netto yang seharusnya diterima oleh Pemprov NTB pada tahun berkenaan. Tapi ingat, DAU netto yang diterima pada tahun berkenaan belum tentu lebih rendah dari DAU bruto yang diterima pada tahun sebelumnya. Bisa jadi dan sangat memungkinkan peningkatan jumlah DAU akan lebih besar dari kewajiban pembayaran Pemprov NTB.
Bentuk mitigasi resiko yang harus dilakukan oleh Pemprov NTB adalah melakukan disiplin fiskal.
Disiplin fiskal ini dilakukan pada ketiga instrumen APBD yakni pada aspek pendapatan, belanja dan pembiayaan.
Pada aspek Pendapatan, Pemda harus menetapkan target pendapatan yang realistis-optimistik dan disiplin dalam melaksanakan setiap tahapan pengelolaan pendapatan mulai dari pendaftaran, pendataan, penetapan, penagihan sampai dengan evaluasi sehingga target yang ditetapkan dapat direalisasikan.
Pada aspek belanja, Pemda harus menetapkan belanja sesuai dengan kapasitas fiskal dan memprioritaskan pada belanja wajib dan prioritas seperti yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan lima tahunan atau satu tahunan.
Pada aspek pembiayaan, konsisten dalam pelaksanaan tahapan pengelolaan pinjaman PEN Daerah. Untuk menghindari adanya kesalahan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan maka pendampingan oleh APIP menjadi hal yang sangat urgen.