LOMBOK TIMUR, ERANTB.COM— Baru saja kita dikejutkan dengan pemerkosaan berantai yang dilakukan oleh seorang pemuda bebebrapa saat lalu, kemudian disusul dengan berbagai kasus kekerasan yang seolah tiada henti, dilakukan oleh sekelompok remaja atau oleh individual remaja. Dan hari ini kita dikejutkan oleh perilaku “kriminal” seorang putri remaja yang membunuh anak usia balita. Ini potret sebagian kecil (semoga) remaja kita saat ini.
Publik kaget?, sudah pasti, mengingat pelaku kejahatan anak lebih populer dilakukan remaja laki-laki dibandingkan dengan remaja putri. Beragm spekulatif bermunculan mengapa remaja putri yang semestinya memiliki afeksi dan empati lebih tinggi “mampu melakukan tindakan brutal, kejam, dan beringas tersebut. Beberapa media mengulas beberapa pemicu remaja putri ini melakukan tindakan tersebut, :
- Perceraian orang tua, yang bisa jadi beresiko pengasuhan maladaptif dan pengasuhan disfungsional, minim tauladan empatik yang berlanjut kepada munculnya ragam setres dan kondisi emosi negatif melanda remaja putri (lihat sketsa gambar dan tulisan tangan harapan pada sangayah)
- Minimnya ketauladanan positif bisa jadi membatasi sang putri untuk mampu berbuat baik, bertindak santun, dan mengasihi teman-teman sebaya atau di bawah usianya.
Justru yang kemudian muncul di pemberitaan adalah adanya kesukaan menyaksikan tayangan-tayangan berunsur horor, kekerasan, pembunuhan, kehilangan empati, kehilangan kepekaan dan tumpul kasih sayang.
Sementara itu, anak yang menyaksikan tayangan kekerasan di TV dan pemberian hukuman di keluarga meningkatkan kasus kekerasan (Suprihatin, 2012). Individu akan mengingat 50% apa yang dilihat di TV walau hanya satu kali penayangan.
Kita bisa mengingat 80% tayangan setelah 3 jam disaksikan, dan mampu mengingat 65% setelah 3 hari ditayangkan (Formoso, Gonzales, & Aiken, 2000). Berdasarkan data tersebut, maka patutlah kita menduga, bahwa tayangan-tayangan kekerasan, baik berupa adegan film, game, dan perilaku nyata orang di sekitar anak, dapat memicu tindakan agresif dan brutal.
Hal lain yang menarik dari proses ini adalah, sang remaja putri memilih menyerahkan diri ke polisi dan menghentikan pikiran impulsifnya untuk menghilangkan jejak, meskipun kabarnya dia tidak merasa menyesal atas perbuatannya. Tentang ini, perlu pemeriksaan psikologis lanjutan untuk mengetahui sejauhmana penyimpangan psikologis yang terjadi pada seseorang.
Tanpa melapor ke polisi, bisa jadi pikiran impulsifnya akan mengarahkan pelaku pada perilaku yang jauh lebih “mengejutkan”. Dalam beberapa kasus pembunuhan yang dilakukan oleh remaja, bisa berlanjut ke mutilasi, membuang mayat ke tempat-tempat tertentu, sebagai reaksi panik atau reaksi manipulatif dan penolakan pertanggungjawaban atas perbuatannya sendiri.
Peristiwa sadis remaja seperti itu tidaklah terjadi tiba-tiba, ia melalui proses internaliasasi dan habituasi yang sangat panjang, hingga akhirnya terbentuk pola perilaku dan keperibadian “psikopatik” dan anti sosial pada seorang individu. Dalam banyak kajian disebutkan, bahwa penanaman kepribadian, karakter, pola perilaku, seringkali bermula pada usia dini.
Kurang mendapatkan perhatian keluarga dan orang tua, kurang lekat dengan figur utama ayah dan ibu, keluarga yang kurang bersahabat dan kurang peduli, banyak kekerasan, banyak tindakan hinaan, dan contoh-contoh perilaku agresif atau pengabaian yang didapatkan anak sejak usia PAUD dan Sekolah Dasar.
Pilihan untuk menjadi psikopatik, anti sosial, gangguan perilaku, sikap melawan dan sikap menentang biasanya bermula dari usia 4 tahun pertama kehidupan, jika berlanjut dan tidak mendapatkan penanganan yang baik, maka akan berkembang menjadi gangguan perilaku, anti sosial, melawan dan menentang di usia SMP, untuk selanjutnya ini menjadi embrio kenakalan remaja atau tindakan kriminal di usia dewasa dan beberapa bentuk gangguan kepribadian beresiko lainnya.
Lantas, bagaimana kasus-kasus seperti ini bertumbuh dan terus berkembang pada remaja-remaja kita? apakah jika kemudian anak-anak remaja tidak mendapatkan kesempatan pengasuhan positif dalam ranah mikro, dan tidak bertemu lingkungan makro yang bersahabat, akan selalu layak dan patut menajdi korban sistem di sekitarnya?, tentu tidak. Lantas, siapa yang harus mengambil peran dan bagian?, kita akan ulas selengkapnya dalam serial tulisan bersambung Divisi Psikolog Sekolah, mengenai fenomena remaja dan kecenderungannya.