Oleh Amiruddin, S.TP
ERANTB.COM – “Pertanian dan pangan adalah hidup dan matinya sebuah bangsa”. Kutipan pidato Presiden RI pertama Ir. Soekarno saat peletakan batu pertama pembangunan gedung Fakultas Pertanian IPB di Bogor pada 1952. Pesan yang disampaikan 68 tahun lalu masih relevan dan seharusnya menjadi atensi dan tekad bersama.
Jika pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga struktur organisasi pemerintahan terkecil dilevel pemerintah desa mempunyai paradigma yang holistik, maka pangan akan ditempatkan menjadi sektor unggulan. Selama pangan belum berdaulat, maka kita belum berdaulat sepenuhnya.
Lebih-lebih Situasi dan kondisi pandemi cukup merepotkan daerah-daerah yang mengandalkan pendapatan dari sektor pariwisata dan industri yang berada pada jurang resesi.
Gelobang Gugatan yang terus disuarakan oleh kelompok tersisih soal impor sebagai solusi yang mentradisi terus digaungkan dan mendapat penolakan dari masyarakat akar rumput hingga elit yang masih punya rasa peduli akan nasib dan kesejahteraan petani.
Impor sedikit banyak merontokkan semangat kerja petani yang jauh dari kebisingan dan kepentingan. Kepentingan petani adanya jaminan stabilitas harga yang layak.
Selama tidak ada kemauan politik dari pengambil kebijakan soal pentingnya kedaulatan pangan, maka mental ketergantungan akan terus tumbuh subur dan liar yang ujungnya sulit dijinakkan. Secara historis era orde lama, orde baru hingga reformasi menempatkan pembangunan pangan pada prioritas utama.
Revolusi pangan tidak terlalu akrab di telinga banyak orang, tidak seperti istilah kemandirian pangan, ketahanan pangan atau kedaulatan pangan. Istilah revolusi mengingatkan pada suatu kondisi yang genting, gawat dan berbahaya. Dibutuhkan tindakan revolusioner untuk mengatasi kondisi tersebut.
Revolusi pangan bukanlah istilah radikal yang kosong makna, revolusi pangan adalah akumulasi dari defisit kepercayaan petani kepada stakeholder atas surplusnya hasil produksi. Absennya pemerintah dalam menjaga stabiltas harga melahirkan kekecewaan yang tertumpuk dan terus mengkristal.
Baru baru ini petani padi dan jagung di NTB yang surplus produksi harus menelan pil pahit atas tidak stabilnya harga. Hasil produksi bahan pangan melimpah tidak menjamin kesejahteraan petani meningkat. Harga dan mutu/kualitas adalah persoalan utama yang menjadi masalah klasik tanpa solusi kongkrit.
Tidak heran, suara petani bagai orang berteriak ditengah samudera. Tak terdengar siapa-siapa, tak mempengaruhi siapa-siapa. Semua hilang ditelan gelombang. Lalu mengharapkan kebijakan pemerintah dengan mengandalkan lembaga tunggal berstatus Badan Usaha milik Negara (BUMN) yang sifatnya pasif, ibarat kereta mini tetapi memiliki beban maksi. Tidak akan menyelesaikan masalah.