Oleh : dr. Susi Wirawati. T
RSUD Provinsi NTB
Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan Universitas Hang Tuah Surabaya
OPINI— Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. (PMK No. 14 tahun 2021)
Alat kesehatan merupakan barang yang harus selalu tersedia di rumah sakit dan di setiap fasilitas kesehatan. Terlebih Indonesia adalah negara besar dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 275 juta jiwa, sehingga kebutuhan akan alat-alat kesehatan mau tidak mau harus selalu terpenuhi.
Dalam pengadaannya pun diharapkan selalu bisa dilakukan dengan cepat, mudah, transparan, dan adil agar pelayanan kesehatan kepada masyarakat dapat terpenuhi dengan baik.
BPJS, sebagai Badan Penyelenggara Program Jaminan Sosial Kesehatan Indonesia, juga menanggung penggunaan sejumlah alat kesehatan. Jika sudah terdaftar sebagai peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), maka peserta JKN berhak mendapatkan layanan untuk beberapa nama alat kesehatan.
Alat kesehatan (alkes) yang dimaksud adalah seperti kacamata, alat bantu dengar, korset penyangga tulang belakang, korset penyangga leher, protesa alat bantu gerak tangan/kaki, alat penyangga tubuh/kruk, dan lain-lain
Program JKN dari BPJS Kesehatan sebenarnya telah menjamin penggunaan beberapa jenis alat kesehatan tersebut sebagai bagian pelayanan lanjut bagi pasien. Alat-alat kesehatan ini termasuk instrumen beserta komponen-komponennya, serta jenis implan yang tidak mengandung obat.
Namun sampai saat ini BPJS Kesehatan masih memberikan batasan pada jenis dan harga alat bantu kesehatan untuk penggunaan di luar tubuh. Terlebih lagi dengan semakin meningkatnya harga BBM di Indonesia baru-baru ini sangat berpengaruh pula terhadap peningkatan harga jual/beli alat-alat kesehatan baik yg diproduksi didalam negeri maupun alkes yg diimport dari negara lain.
Ada beberapa hal dugaan yang menyebabkan harga Alkes mahal diantaranya ;
- Dikenakan bea masuk
- PPN tiap kali pindah tangan
- Margin pabrikan, margin distributor
- Biaya administrasi, izin edar, mungkin perlu biaya-biaya tambahan lain untuk memudahkan izin edar barang. Imbal baliknya tidak sembarang pihak bisa impor produk serupa ke Indonesia. Karena hal inilah, timbul monopoli alat kesehatan oleh satu perusahaan. Dimana tanpa pesaing, harga bisa dipatok mahal semaunya sendiri.
- Biaya lain-lain, biaya yang tak terduga, misalnya untuk mentraktir yang membuat keputusan membeli alkes. Mentraktir nya ini bisa dalam bentuk makan di restoran, menginap di hotel, membelikan barang-barang berharga, memberikan uang tunai ke anggota keluarga lain agar tidak terlacak, kirim dalam bentuk kripto atau transfer bentuk lainnya.
Ujung-ujungnya, alat kesehatan di Indonesia jadi lebih mahal, berkali-kali lipat dari harga di luar negeri. Ini bukan rahasia. Tidak perlu jenius untuk mengungkap anomali yang ada. Anda tinggal mampir ke halaman LKPP, cari informasi harga alkes yang dijual di Indonesia, lalu bandingkan dengan harga di luar negeri.
Ini memprihatinkan karena mahalnya alkes itu berbanding terbalik dengan hasil yang didapat saat alkes itu digunakan. Misal, harga mesin echocardiografi dibawah 3.9M. Sementara dalam JKN kunjungan rawat jalan untuk pemeriksaan ini hanya sekitar 370 ribu, sudah termasuk biaya obat, jasa obat, dan administrasi. Dari jumlah sebesar itu anggaplah kita alokasikan 100 ribu untuk tabungan alat.
Anggaplah masa penggunaan alat sekitar 5 tahun, sehingga agar pelayanan tidak terganggu dalam 5 tahun diharapkan sudah terkumpul tabungan 3.9 M untuk beli alat baru. Maka bila dihitung-hitung, setahun harus melakukan 7800 pemeriksaan. Kalau 5 hari kerja itu sehari 30x pemeriksaan. Kalau sehari satu mesin 30 pemeriksaan, 1x pemeriksaan 15 menit, maka mesin harus kerja setidaknya 7 jam 30 menit, itu dokternya bisa kewalahan dan belum setahun mesinnya sudah cepat rusak.
Disatu sisi harga alkes dibuat mahal, disisi lain harga pemeriksaan dibuat murah. Maka bisa kemungkinan bisa berakibat ;
- Kantor pajak alhamdullilah pemasukan besar .
- Departemen perdagangan alhamdulilah pemasukan besar dari perizinan.
- Rumah sakit terpaksa bayar mahal untuk membeli alkes.
- Yang kebagian mengadakan alat kesehatan, syukuran kebagian cuan non halal
- Penjual alkes bisa senang-senang saja jika alat nya laku.
- Alat yang sudah dibeli tidak mungkin kembali modal, penggunaan tinggi, ujung-ujungnya berakibat cepat rusak, kemudian terpaksa dilakukan pengadaan alat lagi, dan siklus kembali lagi ke nomer 1.
Lingkaran setan yang terbentuk, pada akhirnya akan merugikan pemerintah juga. Akan timbul pertanyaan, “Kok alkes minta lagi minta lagi, mahal pula.” Sementara, bagaimana dengan masyarakat yang membutuhkan? Terpaksa bayar mahal untuk diperiksa menggunakan alat tersebut, atau tidak bisa diperiksa karena alat sudah keburu rusak.
Bicara keadilan, seyogyanya hal tersebut harus diterapkan juga dalam dunia kedokteran, hal yang selama ini menjadi ganjalan adalah Sistem Kesehatan Nasional dibuat mengacu pada patient safety, dimana besaran biaya disesuaikan dengan kondisi sakitnya pasien dan kompetensi dokter yang menangani.
Bukan tarif InaCBGs yang secara otomatis membatasi pengobatan dan tindakan yang bisa diberikan atas dasar kelas RS dengan mengindahkan kompetensi dokternya. Bisa dibayangkan, berapa banyak sejawat yang terpaksa merujuk pasiennya sendiri ke dirinya sendiri di RS yg kelasnya lebih besar agar bisa ditindak? Atau bila anda bekerja di RS kelas D, obat tertentu seperti fibrinolitik tidak bisa diberikan karena nilai obat tidak diganti penuh sementara tarif InaCBGs kecil..? Hal tersebut adalah masih tergolong belum adil dan perlu perubahan yang lebih baik, yang mengedepankan kepentingan dan kemaslahatan kesehatan masyarakat.