ERANTB.COM–, Pada setiap forum diskusi, selalu mengemuka pertanyaan bagaimana langkah Pemda untuk menjawab aspirasi masyarakat Batu Lanteh dan Orong Telu akan jalan yang mantap.
Pemda dari periode ke periode pemerintahan bukan tidak punya good will untuk menyelesaikan permasalahan ini. Coba saja baca Propeda jaman Pak Latief, atau RPJM dua periode jaman Pak JM dan sekarang RPJM jaman Pak Husni, selalu saja tercantum pembangunan jalan ke wilayah selatan sebagai salah satu program prioritas. Di jaman Husni-Mo, sebagian pekerjaan rumah yakni kemantapan jalan Lantung-Ropang dan desa di sekitarnya sebagian besar sudah berhasil di atasi. Hanya saja untuk Batu Lanteh dan Orong Telu masih belum signifikan.
Kembali ke pertanyaan awal, langkah apa yang harus dilakukan agar progam ini tidak sebatas masuk ke RPJM namun bisa dilaksanakan sesuai rencana? Jawabannya untuk program strategis seperti ini, Pemda tidak sebatas mencantumkan programnya namun juga menyiapkan skenario pembiayaan yang rinci berdasarkan pada pendekatan teknokratik yang rasional.
Bayangan saya, ketika kita berbicara mengenai pembangunan jalan Batu Lanteh dan Orong Telu, maka ada 4 hal yang harus disepakati dengan tuntas.
Pertama, output fisik seperti apa yang dikehendaki. Apakah hotmix atau ada metode lain berdasarkan kalkulasi yang posibel secara teknis. Dan ini nanti akan terjawab dalam perencanaan teknis yang dilakukan oleh Dinas PUPR.
Kedua, berapa tahun program ini akan dituntaskan. Apakah setahun atau dua tahun atau tiga tahun. Ini juga masih masuk dalam ranah teknisnya teman-teman PUPR.
Ketiga, berapa jumlah anggaran yang dibutuhkan sampai program ini tuntas. Yang menghitung kebutuhan anggaran ini juga teman teman PU.
Keempat,bagaimana skenario pembiayaan yang akan di tempuh untuk membiayai program ini. Yang keempat ini menurut saya yang paling menantang. Karena level pengambilan kebijakannya tidak lagi teknis, bahkan tidak lagi di eksekutif namun harus dengan produk hukum yang disepakati antara eksekutif dan legislatif.
Bagaimana opsi dan konsekuensi dari setiap opsi?
Pertama opsi dibiayai melalui APBN. Ini opsi yang selalu diharapkan dan diusahakan dari periode ke periode, namun belum membuahkan hasil yang signifikan karena dua hal. Pertama, status jalannya adalah jalan kabupaten dan status kawasannya tidak termasuk dalam kawasan strategis nasional yang bisa diintervensi pusat. Paling yang bisa diharapkan adalah kucuran DAK namun jumlahnya tidak sebanding dengan kebutuhan. Jadi kalau tetap berharap pada opsi ini, besar kemungkinan nasib program ini akan tetap sama seperti sekarang dan tahun-tahun sebelumnya.
Kedua, dibiayai melalui APBD Provinsi. Saya juga sangat pesimis dengan opsi ini (mudah-mudahan saya salah). Mengapa? Kapasitas fiskal Provinsi tidak lebih baik dibandingkan kita. Perda perikatan pembangunan jalan di Pulau Sumbawa pasti fokusnya ke jalan provinsi yang ada di Pulau Sumbawa, bukan ke Batu Lanteh dan Ortel yang masih berstatus jalan kabupaten. Pemda sudah mengusulkan perubahan status jalan ini menjadi jalan provinsi namun sampai saat ini belum ada terealisasi. Tapi intinya menurut saya bukan pada masalah status, tapi pada masalah prioritas dan kemampuan keuangan Pemerintah provinsi. Sebab kalau mau dan fiskalnya memungkinkan, tanpa merubah status pun Pemprov bisa berkontribusi dengan memberikan Bantuan Keuangan Bersifat Khusus dari Pemprov ke Pemkab Sumbawa untuk membangun jalan tersebut.
Ketiga, dibiayai melalui APBD. Kalau APBN terbukti sudah berpuluh tahun mentok. Kalau APBD Provinsi tidak terlalu bisa diharapkan, maka mau tidak mau, suka tidak suka, program ini harus dituntaskan melalui APBD. Pertanyaannya, apakah APBD bisa sementara program tersebut membutuhkan anggaran yang besar.
Secara teknis sebagai orang yang faham anggaran saya bisa jawab sangat bisa. Seperti pada tulisan saya sebelumnya, APBD itu terdiri dari tiga komponen utama, yakni Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan. Kalau belanja ini hendak disandarkan hanya pada kemampuan pendapatan, maka tentu saja sangat sulit. Yang sangat memungkinkan adalah memanfaatkan instrumen creative financing (pembiayaan kreatif) untuk merealisasikan program ini.
Banyak lembaga funding bentukan pusat yang bisa dijadikan mitra untuk membiayai program ini. Tinggal dihitung berapa kemampuan bayar yang dimiliki APBD kita. Ini sudah ada hitung-hitungan teknisnya. Lantas apa sumber yang digunakan untuk membayar sehingga tidak mengganggu pelaksanaan program-program lain.
Salah satu alternatifnya adalah Silpa atau sisa lebih belanja tahun berkenaan yang tidak terserap. Tentu bukan Silpa kegiatan yang harus dianggarkan kembali pada tahun berikutnya.
Sekali lagi kebijakan itu nantinya bukan kebijakan teknis yang bisa diambil sepihak oleh eksekutif namun juga mutlak butuh persetujuan DPRD.
Terakhir, jika kita bicara momentum yang tepat untuk membicarakan secara serius program ini, maka sekaranglah waktunya. Tahun ini Pemda sedang menyiapkan rancangan teknokratik RPJM 2021-2026 yang nanti akan dipadukan dengan visi misi kepala daerah terpilih hingga menjadi Perda RPJM nantinya.
Jadi diskusi obyektif dengan kepala dingin menggunakan pendekatan teknokratik antar semua pihak akan membawa hasil yang lebih produktif nantinya.