ERANTB.COM– Apakah orang yang mendapatkan rukhshah karena uzur seperti jabaran dalam tulisan sebelumnya wajib melakukan rukhsah atau hukumnya ibahah (boleh mengamalnya atau meninggalkannya)..?
Masalah ini menjadi perbincangan di kalangan para ulama.
Imam Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaaqat menyebutkan hukum menggunakan rukhsah adalah mubah, artinya boleh dilakukan atau tidak.
Alasannya karena pada dasarnya rukhshah itu hanyalah keringanan agar tidak menyulitkan dan memberatkan, maka seseorang boleh memilih antara mengamalkan rukhshah tersebut atau tidak tergantung uzur kesulitan atau keberatan yang dia hadapi, misalnya orang musafir dia diberikan kelapangan untuk memilih apakah ia mau mengqashar shalatnya atau itmam (menyempurnakannya empat rakaat) tergantung kepada uzurnya.
Kalau menggunakan rukhshah itu diperintahkan baik secara wajib maupun sunnah maka bukan lagi sebuah keringanan, tetapi kewajiban yang harus dilakukan dan tidak boleh ada pilihan lain.
Pendapat dan argumentasi al-Syatibi di atas dibantah oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa menggunakan rukhsah adalah harus dan kembali kepada hukum asalnya apakah ia wajib atau sunat, misalnya menjaga jiwa agar tidak binasa adalah wajib, maka memakan babi bagi mereka yang terpaksa agar tidak mati kelaparan adalah wajib bukan mubah.
Karena kalau dikatakan mubah maka orang tersebut boleh memilih antara makan atau membiarkan dirinya tidak makan walaupun dirinya mati kelaparan.
Dalam kasus mengqashar dan menjama’ shalat bagi orang musafir, syaikh Abdul Adzim al-Khulaify mengatakan wajib bagi orang musafir untuk melakukannya.
Ini artinya orang yang musafir wajib melakukan qashar shalat sekalipun dalam perjalanannya itu ia tidak mendapatkan kesulitan atau tidak berat melakukan shalat secara sempurna.
Beliau memberikan beberapa dalil di antaranya: Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas beliau berkata;
فَرَضَ اللَّهُ الصَّلَاةَ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً
“Allah mewajibkan shalat melalui lisan nabimu ketika muqim empat rakaat, ketika dalam perjalanan dua rakaat dan ketika dalam keadaan takut satu rakaat.”
[HR Muslim].
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata;
صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ وَالْفِطْرُ وَالْأَضْحَى رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Shalat dalam perjalanan dua rakaat, shalat Jumat dua rakaat, shalat idul fithri dan idul adha dua rakaat, secara sempurna bukan dikurangi menurut perintah Rasulullah.”
[HR. Ibnu Majah dan Nasa’i].
Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata;
أَنَّ الصَّلَاةَ أَوَّلَ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ
“Pertama kali shalatsha
difardhukan dua rakaat, kemudian ditetapkan demikian pada shalat musafir dan menggenapkan (empat rakaat) ketika tidak musafir.”
[HR.Bukhari dan Muslim].
Lajnah Da’imah (Majlis Ulama ) di Saudi Arabia ketika ditanya apakah yang lebih afdhal bagi orang yang musafir berpuasa atau tidak..?
Jawaban:
Banyak sekali hadits yang shahih dan perbuatan Rasulullah sendiri yang menunjukkan bahwa berbuka (tidak berpuasa) lebih baik bagi orang yang musafir, baik dalam keadaan berat atau tidak.
Walaupun demikian boleh saja mereka berpuasa sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hamzah bin Umar al-Aslamy berkata;
“Ya Rasulullah di antara kami ada yang kuat melaksanakan puasa ketika musafir apakah mereka salah (kalau berpuasa)..?”
Rasulullah menjawab:
“Itu adalah rukhshah dari Allah barangsiapa yang mengambilnya maka itu lebih baik, barangsiapa yang ingin berpuasa maka tidak ada dosa baginya.”
[HR Muslim].
Wallahu ‘alam pendapat mayoritas ulama yang menyatakan keharusan mengamalkan rukhshah adalah baik itu wajib atau sunnah adalah yang rajih (kuat) dengan alasan :
- Sesuai dengan karakterisitik Islam yang mudah dan tidak memberatkan.
- Rukhshah merupakan shadaqah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menerimanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ya’la bin Umayyah ia bertanya kepada Umar bin Khatab tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqhasar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.”
[an-Nisaa/4:101].
Dan sekarang kita sudah aman. (tidak perlu qashar).
Umar bin Khatab berkata;
عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ ذَلِكَ فَقَا لَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
“Saya juga heran sebagaimana anda heran dan saya bertanya kepada Rasulullah masalah itu dan beliua bersabda;
“Shadaqah yang diberikan oleh Allah kepadamu dan terimalah shadaqah-Nya.”
- Karena itu merupakan shadaqah dari-Nya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala senang kalau shadaqah-Nya diamalkan oleh hamba-Nya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
إنّ اللهَ يحبُّ أنْ تُؤتىٰ رخصُه، كما يَكره أن تُؤتىٰ معصيته
“Sesungguhnya Allah Senang untuk diambil keringanan-Nya sebagaimana Dia senang di tinggalkan maksiat kepada-Nya.”
[HR.Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah].
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sebagai teladan kita selalu mengambil dan mengamalkan sesuatu yang paling mudah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata;
“Rasulullah (tidak pernah memilih antara dua masalah kecuali mengambil yang paling mudah selama itu tidak berdosa, kalau itu dosa maka beliau orang yang paling menjauhi masalah tersebut dan Rasulullah (tidak pernah balas dendam karena pribadinya kecuali kalau melanggar syariat Allah maka beliau membalasnya karena Allah.”
[HR.Bukhari dan Muslim].
Wallahu ‘A’lam.
Penulisan: Ustadz Nurul Mukhlisin Asyrafuddin.
Editor : M.Gazwan
Footnote
[1] Syaikh Albani menyebutkan dalam kitab Irwa’ juz 4 hal 19 dari al-Thabary dan beliau berkata; sanadnya shahih sesuai dengan persyaratan Muslim
[2] HR.Daraquthni dan dishahihkan oleh Syaikh Abdul Adzim al-Khalfi di kitab al-Wajiz hal. 142
[3] Fatawa lil Muwazhzhafin lajnah Daaimah , Tartib Dakhilullah al-Mufhrafy
[4] Lihat Al Wajiz Fi Fiqh As Sunnah Wal Kitab Al Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al Khalafi, hlm. 141





















