
ERANTB.COM–Omnibus law ini kan isunya buruh”, ujar seorang pegawai yang kantornya di kawasan bisnis Jalan Sudirman Jakarta.
Dia merasa tak punya kepentingan dengan masalah Omnibus Law UU Cipta Kerja yang ditentang banyak orang. Dia anggap dirinya bukan buruh.
Istilah “Buruh” dalam masyarakat kita memang diidentikkan dengan pekerja kasar dan rendahan yang mengandalkan fisik. Seperti buruh pabrik, buruh tani, buruh pelabuhan, buruh bangunan, dan sebagainya. Ini sebetulnya makna buruh yang digunakan pada zaman feodal yang mengacu pada kasta sosial dan ekonomi. Dan hal ini masih terbawa tertanam dalam pikiran banyak orang.
Sesungguhnya siapapun yang bekerja kepada orang lain dan dari pekerjaannya itu mendapatkan upah, maka itu adalah buruh, demikian menurut KBBI. Selama kita bukan direkturnya, bukan owner perusahaan, bukan pemilik saham, hidup masih bergantung dari gaji bulanan dari perusahaan, maka kita adalah buruh. Meski berdasi sekalipun. You are not a capitalist, you are an worked exploited!
Dalam benak pikiran banyak orang, buruh adalah pekerja pabrik yang kerjanya shift, tinggal di gang sempit, perlu sering lembur untuk tambahan gaji. Padahal, macam-macam engineer, programmer, analyst, wartawan, HRD, pegawai bank, dan sebagainya, itu semua disebut buruh atau pekerja dalam UU Ketenagakerjaaan. Beda sama odading mang oleh, dia bukan buruh sebab punya alat produksi sendiri.
Paragraf pertama tulisan ini di atas menggambarkan sikap masa bodoh pegawai kantoran dalam menyikapi RUU Cipta Kerja. Sikap pekerja kantoran itu disebabkan karena mereka merasa RUU tersebut hanya akan berdampak pada pekerja manufaktur atau pabrik. Padahal, sebenarnya ke semua lini jenis pekerjaan, termasuk kerja kantoran terkena dampak serius dari penerapan UU Cipta Kerja.
Para pekerja kantoran baik yang bekerja di perusahaan besar di gedung bertingkat di bilangan Sudirman – Thamrin Jakarta, maupun di daerah-daerah akan terkena dampak serius dari UU Cilaka itu.
Dampaknya adalah pekerja kantoran akan dikontrak terus tanpa ada kewajiban perusahaan mengangkat jadi pegawai tetap. Dan sewaktu-waktu mereka bisa di PHK tanpa pesangon karena pesangon hanya untuk pegawai tetap. Upah dibayar per satuan waktu — hitungan jam, tidak lagi berdasarkan bulanan. Tidak ada lagi yang namanya upah minimum kabupaten/kota dan upah minimum sektoral, yang ada hanya upah minimum provinsi.
Selain itu, perusahaan akan semena-mena melakukan PHK dengan alasan efisiensi atau kontrak habis. Selama ini perusahaan selalu menggunakan kedok efisiensi untuk memecat pekerja secara bebas.
UU Cipta Kerja tidak hanya mengancam buruh di sektor manufaktur dan buruh kantoran, juga mengancam terhadap jutaan petani karena UU ini telah memudahkan perampasan tanah dengan dalih menciptakan lapangan kerja. Selain itu, agenda tanah untuk rakyat melalui reforma agraria juga digusur oleh UU ini. Sebab, tanah akan dijadikan barang komoditas dan diorientasikan untuk kepentingan badan usaha milik swasta dan negara.
UU ini juga dipandang menggerus otonomi daerah dan kewenangan pemda untuk mengatur daerahnya sendiri. Kewenangan Presiden atas seluruh aspek pemerintahan semakin absolut.
Perda provinsi hingga Perda kabupaten/kota serta peraturan kepala daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten dan kota dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan-peraturan pada level daerah tersebut dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku langsung melalui Peraturan Presiden.
RUU Cipta Kerja memang bermasalah baik secara proses, metode pembentukan, dan substansinya. Proses perumusannya tertutup dan tergesa-gesa karena diduga kuat melayani kepentingan investor, pengusaha, dan pemodal, kemudian mengabaikan kepentingan rakyat dan konstitusi.1200 pasal dibuat tanpa memperhitungkan dampak sosial, ekonomi, politik, budaya yang terjadi. Ini sungguh merupakan pengkhianatan nyata negara kepada rakyat.
Semoga Tuhan yang maha kuasa melindungi kedaulatan bangsa dan negara kita dari ancaman kapitalisme, oligarkisme, dan infiltrasi negara luar.***