Oleh: Ardiansyah Direktur NasPol NTB
ERANTB. COM- Gubernur NTB Iqbal, mengumumkan kebijakan hibah Rp 300 juta per desa per tahun. Sekilas ini terdengar seperti langkah berani dan pro-desa. Namun, apakah benar uang sebesar itu akan mengubah wajah desa-desa kita?
Sebagai alumni planologi yang mendalami perencanaan wilayah dan desa, saya melihat angka itu lebih mirip gesture politik ketimbang solusi struktural. Desa tidak sekadar membutuhkan dana, melainkan program yang relevan dengan potensi, karakter, dan kearifan lokal masing-masing.
*Desa Bukan Objek Politik*
NTB memiliki 995 desa dan 145 kelurahan (BPS, 2018). Setiap desa punya ciri khas berbeda:
Sade dan Sukarara kuat di tenun dan adat Sasak.
Bayan dan Senaru punya potensi ekowisata spiritual dan pendakian.
Tetebatu dan Mareje unggul di pertanian.
Uma Lengge di Bima kaya tradisi maritim.
Menyamakan semua desa dengan angka Rp 300 juta jelas mengabaikan keragaman ini.
Masalah Nyata Desa NTB
Per Maret 2025, jumlah penduduk miskin di NTB masih 654.570 jiwa atau 11,78% (BPS NTB). Angka ini memang menurun dari tahun lalu, tetapi tetap lebih tinggi dibanding rata-rata nasional (8–9%). Penurunan kemiskinan dalam enam bulan terakhir justru terjadi karena naiknya produksi pangan (padi dan jagung), bukan karena hibah tunai.
Di sisi lain, industri pengolahan di NTB hanya menyumbang 3,86% PDRB (2019). Artinya, hasil jagung, padi, atau tenun desa masih dijual mentah. Desa tidak punya kekuatan mengolah dan menahan nilai tambah. Tanpa penguatan industri kecil berbasis BUMDes atau koperasi, desa hanya akan jadi pemasok bahan mentah bagi kota.
Potensi Pariwisata: Masih Bocor
Pada 2019, NTB dikunjungi 3,70 juta wisatawan. Sumbangannya ke ekonomi mencapai Rp 2,68 triliun. Tetapi desa sebagai tuan rumah wisata sering hanya kebagian sedikit. Wisatawan menginap di hotel kota, belanja di pusat oleh-oleh modern. Desa hanya jadi latar belakang.
Padahal, desa punya local wisdom yang unik: tenun ikat, rumah tradisional, kuliner khas, hingga ritual adat. Tanpa penguatan kapasitas desa dalam mengelola wisata, keuntungan akan terus lari ke investor besar.
Belajar dari Jepang
Jepang berhasil menghidupkan desa lewat konsep One Village One Product (OVOP) dan Satoyama. Setiap desa dipacu mengembangkan produk khas lokal, dari kerajinan hingga agrowisata, dengan partisipasi komunitas. Hasilnya, banyak desa bangkit bahkan menjadi kota kecil mandiri.
Apa yang membedakan? Jepang tidak hanya memberi subsidi, tetapi memetakan potensi desa dan mendorong keterlibatan masyarakat.
Jalan ke Depan
NTB butuh peta jalan pembangunan desa, bukan hibah tahunan. Desa harus jadi pusat pertumbuhan baru:
Sade dan Sukarara → ekonomi kreatif berbasis tenun.
Bayan dan Senaru → ekowisata spiritual.
Tetebatu dan Mareje → pertanian modern berbasis wisata sawah.
Uma Lengge → budaya maritim dan festival tradisional.
Jika desa-desa ini dijadikan pilot project lima tahun, mereka bisa bertransformasi menjadi kota kecil mandiri, sebagaimana desa-desa di Jepang.