Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto menyebut Pemerintah super tega bila menaikkan harga BBM dalam kondisi seperti ini.
Menurutnya dalam masa pemulihan ekonomi nasional seperti sekarang Pemerintah harusnya memperbanyak insentif bagi masyarakat kecil. Bukan malah membebani dengan menaikkan harga BBM.
Hal tersebut justru akan menyebabkan terjadinya inflasi.
“Karena itu PKS minta kepada Presiden Jokowi tidak menaikan harga BBM bersubsidi sekarang. Alasan dan waktunya belum tepat. Ini hanya akan membuat masyarakat makin menderita setelah dua tahun lebih terdampak Covid-19,” kata Wakil Ketua Fraksi PKS ini.
Mulyanto minta Presiden Jokowi memperhatikan kondisi riil masyarakat. Sebagai presiden yang dicitrakan peduli pada kepentingan rakyat maka Jokowi harus berani membuat keputusan yang tegas tentang harga BBM ini. Apalagi katanya APBN tahun 2022 surplus selama beberapa bulan belakangan.
“Presiden jangan cuma mendengar saran kebanyakan menteri yang justru menginginkan pemerintah menaikan harga BBM. Dengarkan juga aspirasi masyarakat yang berkembang saat ini.
Sebab kalau Pemerintah tetap nekat itu sama saja Pemerintah tega dengan rakyatnya,” kata Mulyanto.
Seperti diberitakan sebelumnya saat ini inflasi tahunan sebesar 3.94 persen, tertinggi sejak Oktober 2015. Kalau BBM bersubsidi dinaikkan, maka diperkirakan inflasi akan melejit ke angka 7 atau 8 persen.
Karena kenaikan harga BBM bersubsidi akan mendorong secara berantai kenaikan harga barang dan jasa lainnya secara luas.
Ini tentu akan mencekik kehidupan rakyat dan menambah angka kemiskinan.
Lagi pula sejak puncaknya di bulan Juni 2022, harga minyak dunia terus melorot, baik WTI crude maupun Brent crude, menuju harga 80 dolar Amerika per barel.
Logikanya kan jadi terbalik, kalau Pemerintah malah ingin menaikan harga BBM bersubsidi.
Di sisi lain, dalam Pidato Kenegaraan di Gedung MPR/DPR/DPD, Selasa (16/8/2022), Presiden Jokowi justru menyampaikan prestasi kabinetnya, dimana pada Semester Satu tahun 2022, APBN surplus sebesar Rp 106 triliun.
Sementara neraca perdagangan surplus selama 27 bulan beturut-turut tanpa jeda. Pada Semester satu tahun 2022 saja surplusnya mencapai angka sebesar Rp 364 triliun.
“Ini tentu pengaruh windfall profit (durian runtuh) dari naiknya harga-harga komoditas seperti batubara, tembaga, emas, CPO, dll. termasuk juga migas.
Karena itu yang utama justru adalah upaya penghematan APBN dan menghentikan proyek-proyek yang tidak penting dan mendesak, seperti proyek Ibu Kota Negara (IKN) baru dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Opsi kebijakan yang memihak rakyat tentu lebih penting dibandingkan dengan opsi pembangunan lainnya di tahun politik dan akhir masa jabatan Presiden, agar Pemerintahan Jokowi husnul khotimah.(*PKS.id)