Penulis : Iksan Imanuddin
Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Manajemen Inovasi Universitas Teknologi Sumbawa
ERANTB.COM – Krisis Dunia belumlah berakhir, berawal dari 2019 terjadi pandemi Covid 19 yang melanda seluruh dunia, sehingga terjadi pembatasan gerak manusia. Banyak Negara bahkan mengambil resiko dengan melakukan Lockdown, atau seperti yang terjadi di Indonesia dengan Istilah PPKM (Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat). Kemudian saat ini, krisis masih berlanjut dengan perang yang terjadi antara Ukraina dengan Rusia. Perang yang dilancarkan oleh Rusia terhadap ukraina sebagai respon Rusia atas sikap Ukraina yang ngotot untuk bergabung dengan NATO, yang berujung pada embargo terhadap ekonomi Rusia termasuk dalam sektor Pangan, dimana yang menyebabkan banyak Negara terimbas mengalami krisis pangan.
Masalah yang ditimbulkan oleh Pandemi Covid 19 ini, semula menyerang kesehatan namun lambat tapi pasti, telah melahirkan masalah kedua yang cukup berat yakni masalah ekonomi, baik rumah tangga, swasta, dan pemerintah. Sebagai akibat dari aktifitas manusia yang melambat dan terbatas. Pekerja di PHK karena permintaan pasar terhadap produk industri menurun drastis sebagai akibat dari menurunnya daya beli masyarakat, ojek sepi penumpang, hotel sepi penginap, tempat pariwisata sepi pengunjung dan berbaga sector lainnya.
Akibatnya, peningkatan angka pengangguran yang cukup tinggi yang akan berimbas kepada segenap lapisan masyarakat dan struktur pemerintahan dari pusat sampai ke desa.
Menurut hemat penulis, krisis bukan hanya menimbulkan banyak masalah tapi juga menghadirkan banyak peluang. Krisis adalah momentum bagi kita masyarakat dan daerah, agar bisa melompat dan menjadikannya sebagai jembatan membangun masyarakat yang memiliki daya tahan dan bisa mengambil peluang untuk tumbuh dan berdaya saing.
Teringat ketika terjadi kerusuhan sumbawa pada hari ulang Tahun Sumbawa era Pemerintahan Jamaludin Malik, 22 Januari 2012. Penulis banyak bergulat dengan kondisi tersebut oleh sebagai Presiden Mahasiswa UNSA yang memimpin Aksi Demonstrasi Ribuan Mahasiswa, sehingga terlibat diskusi cukup serius dengan banyak tokoh-tokoh sumbawa yang hampir semua pada kesimpulan yang sama.
Kerusuhan sosial ini, lahir dari kecemburuan sosial terhadap pengusaan ekonomi yang tidak berimbang, di mana masyarakat lokal seperti menjadi tamu di kampungnya sendiri. Akar kultur masyarakat kita yang merupakan petani dan berburu, menjadikan perdagangan dan pasar luput dari perhatian masyarakat, sehingga bahkan sampai tahun 2000-an pun, masyarakat sumbawa masih menjadikan perdagangan sebagai pekerjaan kelas rendahan.
Ada rasa kurang percaya diri bagi masyarakat Sumbawa, untuk berprofesi sebagai pedagang, sehingga kondisi ini menjadi kesempatan emas bagi pendatang dari berbagai daerah dan negara lain dan kini mereka sudah menjadi tau samawa.
Sumbawa sebagai Daerah yang memiliki lahan yang sangat luas, mesti menjadi peluang bagi kita untuk menguasai berbagai sector pangan. baik kebutuhan akan pangan dalam daerah sendiri maupun menjadi lumbung pangan bagi daerah-daerah lain di Indonesia.
Namun, tantangan terbesar bagi para pengusaha pemula adalah mereka belum mampu mengkonsolidasikan diri agar mampu menguasai pasar. Pasar tetap pada prinsip dasarnya, bahwa suplai dan kebutuhan mesti seimbang dan kontinyu.
Kebutuhan akan Daerah sendiri pada dasarnya sudah mampu mendorong banyak munculnya berbagai macam usaha yang mampu menggerakkan perekonomian daerah. Terlebih apalagi mampu memenuhi kebutuhan daerah lain. Bagaimana menjadikan Pemuda dan masyarakat yang menyediakan sendiri kebutuhan pangan dengan melahirkan sebanyak mungkin para entrepreneur yang bergerak diberbagai komoditas yang dibutuhkan oleh rumah tangga, seperti; sayur-sayuran, ikan nila, lele, telur, ayam, kambing, pepaya, pisang, dan lainnya sehingga sebagian besar isi pasar dan yang dimakan oleh masyarakat Sumbawa kedepan adalah hasil alam dan tangan kita sendiri.
Krisis menyebabkan terjadi limpahan tenaga kerja dan juga jatuhnya ego masyarakat untuk bisa survive dengan keadaan terhadap pilihan profesi, sehingga akan lebih mudah untuk dikonsolidasikan.
Pemerintah mesti turun dengan segala infrastruktur kekuasaan yang dimiliki; penyuluh, pemerintah desa, bank, pasar, pelaku usaha, bumdes dan lainnya. Kelompokkan para pemuda dan masyarakat berdasarkan keahliannya, minta mereka menanam atau beternak dengan komoditas yang sama 50 – 100 orang setiap jenis tanaman atau ternak. Pengelompokkan ini agar bisa mengatur waktu tanam dan panennya sehingga mereka bisa mensuplay pasar secara kontinyu dengan kualitas dan kuantitas yang sama, kebutuhan obat-batan, bibit, sarana prasarana bisa ditekan dan lebih murah. Agar penyuluh bisa melakukan pembinaan secara intensif, modal juga lebih tepat sasaran dan terjadi sharing yang cukup intens karena usaha masing-masing orang bergantung dari keberhasilan temannya sehingga proses trial and error menjadi cukup cepat dan singkat.
Disaat bersamaan, Pemerintah daerah juga mengendalikan kebutuhan daerah terhadap pangan yang dikirim dari berbagai daerah lain. Sehingga pangan dan kebutuhan lainnya, yang dihasilkan oleh masyarakat dapat terserap oleh pasar. Karena permasalahan yang dihadapi oleh intrepreneur pemula kita pada umumnya, mereka mampu memproduksi suatu komoditas dalam satu waktu dalam jumlah besar, namun tak mampu menyuplai baik dari segi kualitas dan kuantitas kebutuhan pasar secara terus menerus oleh karena keterbatasan modal, tenaga dan produksi mereka. Sementara pedagang di pasar butuh kepastian dan kuantitas suplai dan harga yang kontinyu dan stabil. Masalah ini bisa diatasi jika dilakukan secara bergotong royong.
Misalnya kelompok Sayur tersebar di kawasan yang masih bagus suplai airnya bahkan daerah keringpun namun punya sumber mata air, dengan memanfaatkan sedikit sentuhan teknologi siram tetes atau teknik lainnya. Kemudian kelompok ini mengatur, siapa kapan panen dan distribusi ke pasar mana dan pedagang keliling wilayah mana. Begitu juga ikan nila misalnya, pembudidaya diatur kapan masuk bibit dan panennya. Hal ini juga berlaku untuk komoditas seperti pepaya, pisang, telur, dan kebutuhan pangan lainnya. Disinilah Koperasi dan Bumdes bisa menjadi marketplace off line dan on line yang ikut menemukan pasar bagi hasil usaha masyarakat. Kemudian untuk menghadapi kelebihan ataupun kekurangan daya serap pasar, komoditas tersebut dikawinkan dengan program industrialisasi yang dicanangkan oleh Gubernur NTB untuk meningkatkan nilainya dari tadinya pepaya yang dijual mentah kemudian menjadi kripik pepaya misalnya, atau berbagai makanan olahan yang tahan lama dan bernilai lebih sehingga bisa dipasarkan ke yang lebih luas.
Penulis banyak berdiskusi dengan pemuda di desa dan kota. Terhadap semangat generasi muda sumbawa untuk siap terjun menjadi entrepreneur. Namun kita berada di kota kecil yang tentu berkorelasi terhadap jumlah konsumen atau daya serap pasar dan persaingan dari komoditas pangan dari daerah lain, sehingga banyak dari mereka tumbang dengan tanpa dukungan dari kebijakan dan belum terakses terhadap pasar. Maka krisis ini, bisa menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk melakukan swasembada pangan melalui entrepreneurship gotong royong.
Pilihan kebijakan ini juga dalam rangka menjadikan Kabupaten Sumbawa sebagai daerah yang mampu bersaing dengan daerah lain, disaat bersamaan pendapatan keluarga juga bisa terus meningkat. Jika mereka mampu memenuhi kebutuhan daerah, maka lambat laun kemampuan dan kapasitas mereka akan terus meningkat sehingga mampu bersaing dan menembus pasar nasional dan internasional.