Oleh Hermansyah, S.Pd
Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Inovasi Universitas Teknologi Sumbawa
ERANTB.COM – Perubahan sangat cepat dan masif terjadi di berbagai aspek kehidupan menuntut organisasi publik memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi, yang antara lain dapat dicapai melalui inovasi. Inovasi adalah sumber kemajuan dan pembangunan (Ahmed & Shepherd, 2010). Inovasi juga merupakan tindakan menciptakan atau mengembangkan produk/proses baru (Ireland, Hoskisson & Hitt, 2011), termasuk melakukan pelayanan publik.
Inovasi organisasi dapat termanifestasi dalam perilaku inovatif anggota organisasi. Perilaku inovatif adalah proses bertahap pada individu dalam mengenali sebuah masalah untuk menurunkan ide-ide serta solusi baru, bekerja untuk membangun dan menajukan dukungan untuknya, serta menghasilkan prototipe yang diterapkan atau model yang digunakan dan menguntungkan organisasi atau bagian-bagian yang ada di dalamnya (Carmeli, Meitar, & Weisberg, 2006).
Menurut Kleysen dan Street (2001), dari hasil pembuatan skala perilaku inovatif melalji analisis faktor ditemukan lima dimensi perilaku inovatif, yaitu: (1) eksplorasi peluang, yakni menaruh perhatian pada sumber peluang, mencari peluang untuk inovasi, mengenali peluang, serta mengumpulkan informasi tentang peluang; (2) generativitas, berhubungan dengan perilaku untuk menghasilkan perubahan yang menguntungkan tujuan pertumbuhan organisasi, orang, produk, proses, dan jasa, yang mencakup tiga perilaku pokok, yaitu: menghasilkan ide/solusi untuk peluang, menghasilkan representasi/ kategori peluang, serta menghasilkan asosiasi/kombinasi ide dan informasi; (3) investigasi informatif, berhubungan dengan memberikan bentuk dan mengeluarkan ide, solusi dan opini serta mencobanya melalui investigasi, yang meliputi memformulasikan ide/solusi, memperagakan ide/solusi, mengevaluasi ide/solusi; (4) memperjuangkan, meliputi perilaku sosial politik yang melibatkan proses inovasi dan penting untuk merealisasikan solusi, ide dan inovasi potensial, yang ditunjukkan dalam memobilisasi sumber daya, membujuk atau mempengaruhi, mendorong serta bernegoisiasi, menantang serta mengambil risiko; dan (5) aplikasi, yakni mengimplementasikan dan memodifikasi serta membiasakan.
Dengan demikian, perilaku inovatif merupakan tindakan pegawai sebagai anggota organisasi untuk menghasilkan, memperkenalkan/mengaplikasikan temuan baru berupa ide atau solusi yang menguntungkan organisasi, yang bersumber dari eksplorasi peluang, generativitas, investigasi informasi, memperjuangkan, serta aplikasi. Namun dalam kenyataannya masih banyak pegawai yang memiliki perilaku inovatif rendah sehingga tidak dapat diandalkan oleh organisasi publik untuk melakukan pelayanan publik secara lebih prima. Hal itu dapat terjadi antara lain karena minimnya dukungan organisasi pembelajaran.
Sebagaimana dibuktikan Škerlavaj, Song, & Lee (2010) dan Liao, Fei, & Liu (2008) organisasi pembelajaran berpengaruh terhadap perilaku inovatif. Organisasi pembelajaran menggambarkan organisasi sebagai sistem yang terintregasi dan senantiasa berubah, karena individu- individu dalam organisasi tersebut mengalami proses belajar yang dilandasi budaya kerja.
Proses belajar individual terjadi apabila anggota organisasi mengalami proses pemahaman pada konsep-konsep baru yang dilanjutkan dengan peningkatan kemampuan dan pengalaman merealisasikan konsep tersebut, sehingga terjadi perubahan/perbaikan nilai tambah organisasi (Tjakraatmadja, Hidajat, & Lantu, 2006).
Organisasi pembelajaran juga merupakan salah satu fasilitas pembelajaran untuk semua anggotanya dan berkesinambungan mengubah dirinya sendiri (Pedler et al, dalam Armstrong, 2006). Menurut Mondy (2008), organisasi pembelajaran adalah organisasi yang menyadari pentingnya pelatihan serta pengembangan terkait dengan kinerja berkelanjutan dan mengambil tindakan secara tepat. Selain itu, Drafke (2009) mengatakan bahwa organisasi pembelajaran merupakan organisasi yang fokus pada perbaikan pembelajaran dan pengetahuan yang disosialisasikan ke seluruh organisasi. Sedangkan Robbins dan Coutler (2016) menjelaskan bahwa organisasi pembelajaran adalah organisasi yang berkembang kapasitasnya dan terus belajar, beradaptasi serta berubah.
Organisasi pembelajaran dapat memotivasi pegawai mau dan mampu mengembangkan perilaku sehari-hari yang terefleksi dalam penyempurnaan paradigma (cara pandang atau cara berpikir) maupun peningkatan kecerdasan (keseimbangan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual) dan perluasan wawasannya (Tjakraatmadja, Hidajat, dan Lantu (2006).
Organisasi pembelajaran memiliki karakteristik: (1) adanya keterbukaan sistem manajemen serta akuntansi yang mudah diakses pengguna lebih luas tetapi kompeten; (2) adanya peluang belajar semua komponen organisasi yang tidak sekedar formal tetapi juga termanifestasi dalam kegiatan sehari-hari; (3) adanya pemahaman bahwa keputusan pimpinan bukan solusi lengkap tetapi merupakan eksperimen yang masuk akal (logis); (4) adanya perancangan struktur dan budaya organisasi yang menjamin, merangsang serta memungkinkan seluruh komponen organisasi dapat belajar, menanyakan praktek manajemen, bereksperimen, dan berkontribusi dengan ide-ide baru yang lebih segar; (5) adanya insentif bagi manajer yang menggunakan prinsip keterbukaan serta partisipatif dalam proses pengambilan keputusan; (6) adanya prinsip penerimaan kemungkinan timbulnya kesalahan dalam proses pembelajaran; (7) adanya kesempatan serta hak yang sama bagi karyawan untuk melakukan kegiatan pembelajaran; dan (8) semakin kaburnya batas-batas antarkaryawan serta antardepartemen sehingga memungkinkan terwujudnya keterbukaan komunikasi dan relasi pada tahapan proses manajemen (Parmono, dalam Haryanti, 2006).
Organisasi pembelajaran terdiri dari empat dimensi, yakni: (1) komitmen manajerial, mencakup visi bersama dan model mental, dukungan manajerial, efikasi diri, pengelolaan kepemimpinan, menentukan arah strategis, kepemimpinan serta intensi, kepemimpinan partisipatif dan fasilitatif serta orientasi pembelajaran; (2) perspektif sistem, mencakup visi kolektif, berpikir kesisteman, berperspektif sistem, kejelasan makna dari visi, dan orientasi pada sistem; (3) keterbukaan serta eksperimentasi, meliputi keterbukaan atas ide baru, kemandirian pemecahan masalah, inovasi berkelanjutan, budaya eksperimen, integrasi pengetahuan eksternal, kreativitas, pembelajaran secara terus menerus, belajar pada pengalaman masa lalu, belajar pada orang lain, kewirausahaan, dan variasi operasional; dan (4) transfer dan integrasi pengetahuan, meliputi kerja kolektif, pembelajaran kolektif, integrasi pengetahuan secara internal, transfer pengetahuan secara memadai, pemecahan masalah kolektif, dan orientasi pada tim (Jerez-Gomez, Cespedes-Lorente, & Valle-Cabrera, 2005). Berdasarkan penjelasan tersebut maka perlu dipahami bersama bahwa sistem inovasi sangat dibutuhkan dalam membangun organisasi pembelajaran untuk memberikan dampak yang lebih besar terhadap terbangunnya orientasi dan prilaku inovatif kinerja pegawai dalam bekerja sesuai disiplin ilmu yang dimiliki.